Saturday, October 8, 2011

Tradisi Kehidupan Masyarakat Madura

Tradisi Kehidupan Masyarakat Madura
 Terdapat satu pandangan bahwa Madura merupakan “ekor” Jawa, secara kultural kebudayaan Madura hanyalah variasi dari kebudayaan Jawa.
Secara ekologis Madura merupakan kelanjutan dari Jawa, sekalipun antara keduanya (Madura dan Jawa) secara ekologis pula terdapat perbedaan. Jawa didominasi oleh sawah, sedangkan Madura didominasi oleh tegalan. Perbedaan ekologis itulah yang membuat struktur sosial-ekonomi Madura tidak sama dengan Jawa.
  Kuntowijoyo  berpendapat bahwa sejarah jawa dan Madura tidak bisa dipisahkan, dengan alasan bahwa Madura juga memiliki konstribusi bagi sejarah Jawa sejak zaman Majapahit. Berdirinya kerajaan-kerajaan di Madura (Bangkalan-Sumenep) tidak bisa lepas dengan Jawa, sebagaimana Islamisasi yang tidak bisa lepas pula dari para wali.  Campurtangan Madura dalam sejarah Jawa semakin intensif setelah Madura dikalahkan oleh Sultan Agung pada 1624. Masuklah beberapa nama semisal Trunajaya dan Cakraningrat (I,III,IV) kedalam sejarah Jawa.  Pandangan ini bisa dipahami karena memang, sebagaimana ditulis dalam kitab Nagarakertagama, tanah Madura awalnya menyatu dengan tanah Jawa, peristiwa gempa bumilah yang kemudian memisahkan keduanya.  Karenanya, tidak keliru, ketika Geertz berdasarkan struktur ekologis  memasukkan Madura ke dalam Indonesia Dalam, yakni Jawa dan Madura ditambah Jawa Barat Laut, Tengah, dan Timur, Bali Selatan dan Lombok, dan mengkontraskannya dengan Indonesia Luar, yaitu bagian luar Jawa ditambah Jawa Barat Daya.  Pemisahan dua macam ekosistem ini, yakni Indonesia Dalam yang berpusat pada persawahan dan Indonesia Luar yang berpusat pada perladangan, dapat memengaruhi kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah, dan produktifitas pertanian.
 Pandangan yang agak berbeda datang dari Terra  yang menyebutkan bahwa Madura Timur (Pamekasan dan Sumenep) mempunyai pola yang sedikit menyimpang dari pola Jawa, yakni sebuah pola pertanian yang memusatkan pada ekologi tegalan. Tetapi, sesungguhnya secara umum pulau Madura memiliki ekologi yang sangat berbeda dengan Jawa. Kuntowijoyo,  misalnya, melukiskan kekhasan ekologi tegal di Madura dibandingkan ekologi sawah di Jawa dan ekologi ladang di luar Jawa.
 Sebagai sebuah pulau, Madura juga didominasi oleh wilayah laut dan pantai yang mengelilingi pulau itu. Secara umum, terdapat dua pantai memanjang di Madura, yaitu pantai Utara yang hampir membentuk garis lurus yang membatasi wilayah Utara pulau Madura dan pantai Selatannya yang memiliki arti penting karena terdapat banyak pelabuhan, besar dan kecil, yang menghubungkan Madura dengan dunia luar. Karena keberadaan pantai inilah, Madura, selain, menjadi penghasil garam terbesar di Indonesia,  juga memberikan pekerjaan penangkapan ikan kepada masyarakat Madura, terutama masyarakat yang mendiami wilayah sekitar pantai.
Penyimpangan struktur ekologis di Madura juga menentukan pola kehidupan penduduknya. Ekologi tegal, misalnya, melahirkan organisasi sosial yang bertumpu pada agama dan otoritas kyai. Kyai merupakan perekat solidaritas dan kegiatan ritual keagamaan, serta pembangun sentimen kolektif keagamaan. Penghormatan yang tinggi orang Madura terhadap ulama (kyai) dapat ditelusuri dari ungkapan, „buppa’-bhabhu, ghuru, rato“  yang menggambarkan hirarki penghormatan dikalangan  masyarakat Madura. Bagi masyarakat Madura ungkapan tersebut bermakna bahwa penghormatan yang pertama dan utama harus diberikan kepada kedua orang tua –sekalipun dalam kenyataannya banyak anak Madura yang lebih hormat pada Kyai ketimbang kedua orang tuanya—sebagai orang yang melahirkan dan mendidik  dan mengasuh hingga dewasa. Penghormatan kedua pada guru yang dalam hal ini terfokus pada Kyai. Karena kyailah yang mengajarkan ia tahu tentang ilmu agama dan ilmu tengka, disamping itu kyai dianggap orang yang paling faham dan dekat dengan agama, sehingga ia pantas untuk dihormati dan diteladani. Baru penghormatan berikutnya kepada rato (pemerintah), bahwa fungsi pemerintah sebagai regulator pembangunan kurang diberi kehormatan oleh nilai-nilai tradisi Madura.

 Hubungan antara kyai dengan ummatnya di Madura, sangat dekat. Kyai memiliki peranan dominan dalam kehidupan umatnya. Patronase Orang Madura kepada Kyai sangat tinggi. Petuah Kyia bagi masyarakat Madura  tempo dulu,  tetap menjadi hukum tak tertulis yang harus dilaksanakan. Bahkan kesetiaan masyarakat pada kyai melebihi kesetiaan pada yang lain termasuk pada kedua orang tuanya, sekalipun pada tataran tertentu fatwa kyai tidak diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Saking kuatnya kepercayaan masyarakat Madura kepada kyai hingga ada semacam perumpamaan dalam bentuk pengandaian “seandainya kyai itu bisa menjadi Nabi pasti orang Madura mempercayainya, bahkan jika ada orang lain menyanggahnya maka ia akan menjadi sasaran kemarahan“
 Berbagai kajian tentang keberadaan kyai di Madura masih menunjukkan posisinya yang sangat kuat sebagai pemimpin lokal. Penelitian Mansurnoor, misalnya, menunjukkan kedudukan kyai yang polymorphic sebagai pemimpin lokal keagamaan-keislaman Sejauh setting lokal tidak terusik oleh intervensi atau pengaruh dari luar, para kyai di Madura tidak mengalami kesulitan dalam mempertahankan kedudukan  dan kewibawaan mereka di hadapan masyarakat.  Hampir semua kyai Di Madura sejak lama menjadi penjaga dan pendukung Islam tradisional. 

0 comments:

About Me

My Photo
saiful
Active as a lecturer at universities, training facilitator, activist participatory action research.
View my complete profile